Rabu, 20 Februari 2008

Sansevieria Laris, Tanya Kenapa?

Pernah mendengar nama tanaman lidah mertua? Tanaman yang juga disebut tanaman ular alias sansevieria ini sebenarnya tidak terlalu istimewa bagi masyarakat. Lihat saja sekeliling, tumbuhan ini ada di pekarangan, di pinggir jalan, di taman kota, atau di taman-taman gedung perkantoran.

Tapi, siapa nyana tanaman yang masih satu keluarga dengan kaktus ini mulai diburu banyak orang. Mulai tahun 2000 hingga 2002, permintaan akan lidah mertua menjulur begitu pesat dan mencapai juluran terpanjang tahun 2004, dan terus menjulur hingga kini.

Bayangkan pengalaman Lanny Lingga, petani tanaman hias di bawah bendera Seederama Trading dan Marlan Nursery, yang juga menulis buku soal sansevieria. Tahun lalu, kebun miliknya seluas 3 ha di kawasan Sukabumi yang ditanami 25.000 tanaman lidah mertua sudah siap panen. Eh, pencuri menggasaknya habis dalam tiga hari berturut-turut. "Malah di atrium Senen itu dicolong juga. Ada orang yang kalau malam suruh cabutin, karena laku banget waktu itu," kata Lanny mengisahkan perburuan tanaman sansevieria alias ular atau lidah mertua.

Antipolusi dan antiradiasi

Maraknya permintaan akan tanaman ini bukan cuma membuat banyak pemain lokal yang ikut membudidayakannya. Bahkan, tak sedikit orang asing yang terjun langsung dan membeli dari petani-petani untuk diekspor. "Lama-lama banyak juga orang Korea asli yang kesini, dan menjadi eksportir. Mereka membeli sansevieria dari Indonesia dan menjualnya di pasar mereka sendiri di Korea," tutur Grace Setyadharma, Direktur PT Hujanmas Florestika Kencana, salah satu perusahaan yang ikut berbisnis sansevieria.

Lantaran tingginya permintaan, harganya tentu saja ikut membubung. Lidah mertua biasanya dijual dalam pot plastik hitam kecil, dan harganya dihitung per helai daun. Satu pot sering cuma terdiri dari tiga hingga lima helai daun. Dua tahun silam harganya masih sekitar Rp 500 -Rp 700 per daun. Sekarang harganya sekitar Rp 1.500- Rp 4.000 per daun, tergantung jenis dan ketinggian daunnya.

Kalau tanaman Anda tergolong memiliki kelainan atau jenis yang langka, harganya bisa mencapai jutaan rupiah per pohon. "Kalau yang kelainan itu mahal, bisa 1.000 kali dari harga normal. Misal kuning semua, hijau semua, atau berkelok-kelok," ujar Lanny. Grace juga bilang begitu. Untuk sansevieria berbentuk mawar atau sansevieria trifasciata futura, harga per daunnya bisa mencapai US$ 30.

Tanaman sansevieria ini punya penggemar di berbagai masyarakat dunia, mulai dari Jepang, Taiwan, Korea, hingga di Eropa dan Amerika. Ada yang bilang, tanaman ini dapat menyerap polusi di sekitarnya, sehingga banyak orang yang meletakkannya di dalam rumah atau menanam di halaman. Ada juga yang percaya tanaman ini bisa dijadikan obat diabetes, wasir, hingga kanker ganas. Bahkan, sebagian masyarakat Korea percaya tanaman ini dapat menghilangkan berbagai radiasi, sehingga mereka memburunya hingga ke seantero jagat. Bangsa China pun percaya tanaman ini membawa keberuntungan bagi yang memeliharanya. Di Thailand, ekstrak sanseivieria kabarnya sudah dikembangkan menjadi obat kanker dengan harga mencapai Rp 700.000 per kapsul.

Lepas dari berbagai kepercayaan tersebut, belum ada riset ilmiah yang bisa membuktikannya. Satu yang pasti, sansevieria sangat mudah hidup di mana saja, di tempat yang banyak polusi udara yang membuat tanaman lain mati, di tempat yang miskin cahaya. Lidah mertua juga tak butuh banyak air. Dia cuma butuh 26 mililiter per tanaman per minggu. "Di ruangan, setengah bulan enggak disiram enggak soal. Makanya di luar negeri itu laku banget, karena bisa ditaruh di dalam ruangan dalam waktu lama," tandas Lanny.

Karena permintaan yang tinggi itulah dalam setahun Lanny mengekspor sansevieria lima kontainer masing-masing berisi 40.000 tanaman. Adapun harga jual per potnya dipatok US$ 2-US$ 3,50. Jadi, sekali kirim ia bisa menggenggam duit ratusan juta rupiah. Dalam setiap pameran flora pun nyaris setiap peserta menjual sansevieria dengan stok ratusan pot. Permintaan pasar dari luar negeri, menurut Grace, bahkan mencapai satu kontainer setiap minggu.

Tertarik mencicipi empuknya bisnis sansevieria? Gampang, kok. Coba saja menanamnya dulu. "Sansevieria ini mudah hidup di mana saja. Yang penting jangan di luar pagar, nanti diambil orang," kata Grace sambil tertawa lebar.

Hanya, patut diingat, permintaan dari luar negeri, terutama Eropa dan Amerika, juga ada siklusnya. Di musim dingin seperti sekarang biasanya permintaan turun dan baru naik lagi saat musim semi, lalu mencapai puncaknya di musim panas.
+++++

Satu Tanaman Bermacam Nama

Nama sansevieria mungkin masih asing terdengar di kuping masyarakat awam. Di Indonesia tanaman ini lebih dikenal dengan nama tanaman ular atau lidah mertua (mother-in-law's tongue).

Tanaman tropis ini memang memiliki banyak nama. Di antaranya century plant, lucky plant, snakeskin plant, good luck plant, dan african devil's. Setiap negara juga memiliki nama berbeda. Di Jerman, tanaman ini disebut bogenhanf, di Prancis chanvre d'arique, dan di China disebut pak lan, sweet mei lan, atau juga ylang ylang. Tanaman ini telah lama populer di China dan menjadi tanaman hias di dalam ruangan, bahkan sering ditempatkan di vihara-vihara. Pertumbuhan sansevieria yang simetris, menurut bangsa China, menunjukkan keserasian yang tergambar sebagaimana yin dan yang.
+++++

Rupa Ragam Lidah Mertua

Sansevieria memiliki banyak varian dengan harga berbeda-beda. Selain faktor jenis tanaman yang langka, tingginya harga si lidah mertua ini juga lantaran tren. Misalnya, tahun ini yang sedang tren adalah jenis sansevieria trifasciata lorentii, yaitu berwarna hijau dengan pinggiran kuning. Harga sansevieria jenis ini per daun setinggi 40 cm sekitar Rp 1.500, sehingga harga per tanaman yang terdiri dari tiga-empat daun adalah Rp 4.500-Rp 6.000.

Untuk tahun depan, menurut Grace Setyadharma, Direktur PT Hujanmas Florestika Kencana, salah satu pemain sansevieria, yang bakal tren adalah jenis sansevieria trifasciata futura. "Dia mirip dengan laurentii, tapi bentuknya seperti mawar," tutur Grace.

Sesungguhnya, ada ratusan rupa dan ragam sansevieria dengan daerah asal yang berbeda-beda, mulai dari negara-negara di Afrika Timur, Arab, India Timur, Asia Selatan, hingga beberapa pulau di Samudra Pasifik. Beberapa yang terkenal, menurut Lanny Lingga, petani tanaman hias di bawah bendera Seederama Trading dan Marlan Nursery, yang juga menulis buku soal sansevieria, adalah:

1. Sansevieria trifasciata
Jenis ini yang sering disebut sebagai tanaman ular. Ujung daun meruncing, tapi tidak berduri. Pada malam hari biasanya mengeluarkan aroma harum. Daunnya yang masih muda tumbuh tepat di tengah-tengah roset yang berdiri lempang ke atas. Awalnya, pertumbuhan tampak seperti lidi. Jenis trifasciata yang telah disilang menghasilkan varietas baru, antara lain:
~ Sansevieria trifasciata golden hahnii
Penampilan fisiknya hampir sama dengan hahnii. Bedanya ada pada warna daun yang hijau muda dengan kombinasi warna kuning emas, dan berbentuk pita pada bagian tepi daun.
~ Sansevieria trifasciata lorentii
Daunnya rata dan tumbuh tegak dengan tinggi 40 cm-100 cm. Pinggir daun berwarna kuning dan tampak tegas, sedang di bagian tengahnya ada warna kuning yang menyebar tidak beraturan. Jumlah daunnya bisa mencapai lebih dari 10 helai dan pertumbuhannya paling cepat dibandingkan jenis lainnya.

~ Sansevieria trifasciata bantel's sensation atau white sansevieria
Daunnya tumbuh merapat dan tegak lurus. Antarhelai daun saling bertumpuk simetris dengan warna dasar putih, bercorak hijau, dan tepi daun warna hijaunya lebih tegas. Pertumbuhannya paling lambat dibandingkan dengan jenis lain.
~ Sansevieria trifasciata futura
Ciri-cirinya mirip dengan lorentii, tapi daunnya lebih lebar dan lebih pendek. Corak dan warna daunnya juga lebih jelas. Selain itu, bentuknya menyerupai kelopak bunga mawar.

2. Sansevieria liberica
Boleh dibilang, jenis ini memiliki daun yang paling besar dan panjang. Tumbuh kokoh ke atas dan agak tebal. Jika diperhatikan warna daunnya, tampak kombinasi hijau-putih, namun warna putih lebih menonjol.

3. Sansevieria cylindrica
Sesuai dengan namanya, ia memiliki daun yang tumbuh memanjang ke atas dan berbentuk silinder. Daunnya kaku dan sangat tebal dengan warna hijau tua dengan alur-alur hitam keabu-abuan bercampur hijau muda.

Diambil Dari : www.daunbagus.com

Teknik Cacah Sansevieria

Selama 2 tahun, 4 pot Sansevieria kirkii 3-4 daun koleksi Iwan Hendrayanta di Permata Hijau, Jakarta Barat, bermetamorfosis jadi 400 tanaman baru.

Si lidah mertua tembaga itu dicacah-cacah daunnya membentuk persegi panjang sepanjang 5-7 cm. Lalu ditancap-tancapkan di media pasir hingga mengeluarkan anakan.

Kalau dibiarkan 'bereproduksi' alami paling hanya didapat 1-2 anakan per tahun. Maklum kirkii termasuk jenis yang lamban tumbuh. Makanya ketua Perhimpunan Florikultura Indonesia yang hobiis sansevieria itu mencoba memotong-motong daun kirkii. 'Setek' daun itu lantas dibenamkan di media pasir. Hasilnya dari 1 potong daun muncul 2-3 anakan sekaligus dalam hitungan bulan.

Cara serupa juga dicoba A. Gembong Kartiko, pekebun di Batu, Jawa Timur. Pemilik Sapta Plant & Pottery itu menyebut cara itu sebagai teknik potong tahu. 'Daunnya kan dipotong-potong seperti potongan tahu,' kata Gembong. Caranya, daun kirkii dewasa sepanjang minimal 15 cm dicacah menjadi 5 bagian. Artinya, setiap potong hanya sepanjang 3 cm. Namun, buat pemula pria berambut gondrong itu menyarankan ukuran lebih panjang supaya aman.

Gembong menyemai di media campuran sekam bakar dan pasir malang dengan perbandingan 1:3. Selama 2 minggu cacahan tidak perlu disiram. Memasuki minggu ke-3 baru siram menggunakan larutan mengandung hormon perangsang tumbuh. Sekitar 3-4 bulan kemudian, tunas baru bermunculan. Setelah 6 bulan pascapencacahan, anakan dengan 4 daun siap dijual.

Di Solo, Andy Solviano Fajar, mencoba teknik cacah pada jenis congo. Potongan daun berukuran 3,5 cm x 3,5 cm atau 5 cm x 5 cm ditanam di media pasir malang dan sekam bakar dengan perbandingan sama. Dalam 4 bulan didapat anakan baru.
Pabrik anakan

Keuntungan teknik cacah, anakan dihasilkan terus-menerus. 'Anakan hasil perbanyakan dengan cacah bisa langsung jadi indukan begitu daunnya dewasa,' kata Iwan. Penggemar encephalarthos itu menyebutnya perbanyakan dari daun ke daun. Karena setiap daun baru potensial jadi indukan untuk perbanyakan berikut, anakan pun seperti tak ada habis-habisnya.

Namun, tidak semua lidah mertua bisa diduplikasi dengan cara cacah daun. 'Sansevieria bermotif belang, terutama hijau kuning atau hijau putih, tidak bisa diperbanyak dengan memotong daun,' ujar Iwan. Risikonya, anakan yang dihasilkan berbeda dengan indukan. Bila tunas muncul dari bagian berwarna hijau, individu baru yang muncul juga hijau.

Risiko busuk lumayan besar, 50%. Penyebab utama, serangan cendawan dan bakteri lantaran pisau tidak steril, bagian luka tidak terlindung fungisida dan bakterisida, serta media terlalu lembap karena air siraman menggenang. Kendala lain, akar lambat tumbuh sehingga pertumbuhan anakan pun terhambat.

Untuk mempercepat akar tumbuh, Andy membungkus bagian bawah cacahan daun dengan tisu. Posisi cacahan tidak ditanam, tapi dibaringkan di atas media. Lalu disiram secara terus-menerus selama 1 bulan dengan larutan perangsang akar. Setelah akar keluar, baru ditanam di media campuran pasir malang dan sekam bakar. Jika ingin memacu tunas lebih cepat tumbuh dan bongsor, sungkup dengan plastik bening. Pertumbuhan daun baru 2 kali lebih bongsor dibanding tanpa sungkup

Diambil dari : www.Daunbagus.com

Cylindrica, Trifasciata, dan Hahnii

Sansevieria Pencetak Uang
Di tingkat bursa, hanya ada tiga besar sansevieria yang paling banyak diminati, yaitu cylindrica, trifasciata, dan hahnii.

Meski mempunyai banyak jenis, keluarga agavaceae ini ternyata mempunyai tingkat penjualan yang beragam. Jenis, kelangkaan, dan usia sangat mempengaruhi harga jual pada konsumen. Cylindrica, trifasciata, dan hahnii adalah jenis sansevieria yang dinilai paling menguntungkan di tingkat bursa. Sebab, sebagian besar pengunjung akan membeli dari jenis ini.Memang, alasannya masih mengandalkan harga jual yang murah dan tentunya pertumbuhan yang cepat, sehingga konsumen bisa membawa dengan harga yang relatif murah. Kondisi ini tentu cukup menggembirakan bagi pedagang. Sebab, meski dinilai mempunyai keuntungan yang tak terlalu besar, tapi dari kuantitas yang cukup tinggi tetap saja jenis ini jadi buruan. Apalagi di Jatim, sudah terdapat sentra penanaman sansevieria, yaitu di Kabupaten Lumajang.

Meningkatnya pamor sansevieria sendiri dimulai pada akhir tahun 2007, saat tren anthurium mulai berkurang. Kebetulan komunitas sansevieria juga gencar melakukan sosialisasi, membuat tanaman sukulen ini mulai banyak diminati pembeli. Sebab, selain harga yang lebih murah, perawatannya juga tak terlalu rumit.Syamsul Arifin dari Multi Agro Perdana Sidoarjo Jatim mengatakan, permintaan sansevieria masuk tahun 2008 cukup bagus. Apalagi untuk harga yang ada di bawah Rp 100 ribu per potnya. Sebab, bagaimanapun harga tetap jadi satu pertimbangan utama dalam membeli tanaman hias.

Di situ, memang ada beberapa jenis yang cukup digemari dan tentuya punya harga terjangkau, yaitu untuk jenis cylindrica dan trifasciata serta hahnii. Jenis tersebut dipastikan akan laris dibeli setiap ada gelaran bursa tanaman hias. Daya tarik lain dari sansenvieria selain sebagai tanaman hias juga punya khasiat herbal.Sebagai petani dan pedagang, tentu harus memilih produk yang punya daya serap pasar paling besar. Di situ, tentu perputaran uang akan jadi hal yang penting, sehingga pilihan tepat adalah mencari produk yang laris meski margin keuntungan lebih sedikit.“Biar sedikit, tapi kalau yang dibeli banyak akhirnya sama saja untungnya,” tandas Syamsul. “Sehingga saya lebih senang mengambil dan membudidayakan sansevieria yang punya harga jual terjangkau. Dengan harga terjangkau, pembeli yang datang juga makin banyak,” lanjutnya.

Janji Keuntungan Besar

Secara ekonomis, menjual produk sansevieria murah memang untung, tapi ia punya pasar yang jauh menguntungkan. Bila dihitung kita mengambil dari petani di Lumajang Rp 20 ribu per potnya, dengan membawa satu buah pick up, maka setidaknya bisa membawa hingga 3 ratus tanaman. Maka, biaya yang dikeluarkan untuk belanja Rp 6 juta. Bila berangkat dari Surabaya, maka untuk biaya transportasi termasuk bensin dan penyusutan kendaraan Rp 400 ribu. Artinya, biaya produksi jadi Rp 6,4 juta.Asumsi penjualannya melalui pameran, maka biaya produksi ditambah dengan sewa stan setidaknya Rp 1 juta untuk satu kali pameran, sehingga total biaya jadi Rp 7,4 juta. Di pasaran, untuk jenis trifasciata terutama pedang jono berkisar Rp 70 ribu per potnya. Bila dikurangi dengan biaya pot dan media tanam Rp 10 ribu, berarti harga jual sebesar Rp 60 ribu.

Sebut saja, dalam satu hari kita bisa menjual 15 pot berarti dalam satu even 10 hari uang yang didapat sebesar Rp 60 ribu dikalikan 150. Artinya, angka penjualan mencapai Rp 9 juta dalam satu kali pameran. Bila dikurangi dengan biaya produksi sebesar Rp 7,4 juta berarti sudah ada margin Rp 1,6 juta. Jumlah itu belum dikurangi dengan biaya pameran seperti gaji pegawai dan konsumsi.Dengan keuntungan Rp 1,6 juta, ternyata masih ada barang yang tersisa berjumlah 150 tanaman. Bila dijual dengan harga sama, maka masih ada simpanan uang dari sisa tanaman sebanyak Rp 9 juta. Namun tentu hitungan itu tak termasuk tanaman yang mati dan harga pasaran yang naik-turun.
“Resiko tetap ada, apalagi sansevieria rentan terkena penyakit dan kerusakan fisik. Di tingkat bursa, harga bisa tinggi bila struktur tanaman bagus dan tak ada cacat. Kondisi ini tentu menyulitkan, karena mulai dari saat panen dan transportasi sangat rawan terkena kerusakan fisik,” ujar Syamsul. [wo2k]

Batang Kuat Cylindrica

Jenis ini memang punya kekuatan di bagian batang yang juga sebagai daun. Bentuknya membulat dan makin runcing menuju ke atas. Jenis ini punya proses pertumbuhan yang cepat, tapi butuh ruang yang luas. Sebab, arah pergerakan tanaman ini menuju ke samping.Dengan ujung yang runcing, tentu harus ada lokasi yang luas. Sebab bila ujung tumpul, maka harga jual akan jauh berkurang. Jenis ini termasuk yang cukup laris di pasaran, dimana harga jual untuk usia sekitar 1 tahun bisa mencapai Rp 80 ribu lebih. Apalagi bila sang penjual melengkapi dengan pot keramik dan media tanam yang bagus, harga bisa Rp 100 ribu.

Daun Lebar Trifasciata

Jenis ini mungkin termasuk sansevieria yang paling popular. Sebab, dengan daun yang lebar dan tumbuh memanjang ke atas, paling mudah untuk dikenali. Selain itu, jenis ini banyak ditanam di taman kota dan lokasi yang berpolosi tinggi. Namun tentu untuk jenis yang murah, karena banyak juga jenis trifasciata yang punya harga mahal. Salah satunya adalah jenis pedang jono yang punya warna hijau tua dengan sedikit garis hijau muda yang muncul. Jenis ini termasuk salah satu sansevieria yang digemari. Di tingkat bursa, harga jualnya mahal, dimana untuk ukuran 50 cm mencapai Rp 80 ribu. Bahkan bisa lebih, bila warna pemukaan daun mengalami mutasi/perubahan warna.

Hahnii Yang Imut

Hahni sendiri merupakan kerabat dari trifasciata yang punya struktur kecil dan mempunyai arah gerak yang melingkar. Bila dilihat sepintas, jenis ini mirip dengan bunga mawar yang tumbuh rapat dan melingkar. Warna yang paling disukai adalah kuning dengan strip hijau.Harga jual untuk jenis ini cukup murah, dimana berkisar antara Rp 20-Rp 25 ribu setiap potnya. Dengan dimensi yang kecil, dimana lingkar tanaman tak lebih dari 20 cm, membuat jenis ini banyak dicari orang kantoran. Fungsinya, sebagai penyerap radiasi dan polutan di dekat komputer

Diambil dari : http://www.tabloidgallery.tk

Selasa, 12 Februari 2008

Sansevieria Ehrenbergii

Ini dia varian baru bentuknya seperti Sansevieria Rodida eh ternyata namanya Sansevieria Ehrenbergii (Kerenn Boo... Namanya)

Kingdom: Plantae
Division: Magnoliophyta
Class: Liliopsida
Order: Asparagales
Family: Ruscaceae
Genus: Sansevieria
Species: S. ehrenbergii

Minggu, 10 Februari 2008

Sansevieria Fischeri

Family: Dracaenaceae
Habitat: Kenya, Tanzania, Ethiopia, Somalia
Soil: Mix
Water: Medium
Sun: Medium
Thickness: 10 centimetres
Height: 2,4 centimetres
Flower: White
Reproduction: Seeds/Cuttings
Pop names: -
Synonyms: Buphane fischeri, Baker 1898
Got it from: Hellevoetsluis, The Netherlands

Sanseveira Suffruticosa

Frost Tolerance: Avoid any frost
Heat Tolerance: Afternoon shade in Phoenix
Sun Exposure: Light shade
Origin: Kenya
Watering Needs: Keep really dry in winter

Kamis, 07 Februari 2008

Sanseveira Gracilis


Frost Tolerance: Avoid any frost
Sun Exposure: Bright shade or full sun
Origin: Eastern Africa
Growth Habits: Watering Needs: Keep really dry in winter

Jumat, 01 Februari 2008

Sanse Varigata

Hampir seluruh daun Sansevieria caulescens koleksi Edi Sebayang itu berwarna putih. Hanya beberapa daun yang bersemburat hijau. Padahal, lazimnya hijau polos. Pantas hobiis lidah mertua di Tangerang itu rela merogoh kocek Rp40-juta untuk memboyong tanaman asal negeri Paman Sam itu.

Aneh, itulah alasan yang meluluhkan hati Edi sehingga tak berpikir panjang untuk memesan Sansevieria caulescens variegata asal Florida, Amerika Serikat. Lidah mertua variegata lain yang dipesan adalah Sansevieria pearsonii. Seperti yang pertama, hampir seluruh daunnya berwarna putih kekuningan. Harganya pun tak kalah fantastis, Rp36-juta.

Nun di Yogyakarta, ada Aris Andi yang juga keranjingan mengoleksi sansevieria variegata. Salah satu koleksinya yang paling eksklusif Sansevieria masoniana variegata. Lidah mertua berdaun lebar itu didominasi warna kuning cerah. Bahkan, salah satu daun berwarna kuning polos. Sama 'gila'-nya dengan Edi, Aris tak segan menggelontorkan Rp30-juta demi sepot sansevieria belang.

Sulit

Edi dan Aris hanya segelintir orang yang menggilai lidah jin abnormal. Buktinya pada ajang kontes sansevieria di Yogyakarta pada awal Desember 2007, kelas unik warna dibanjiri peserta. Kelas ini mewadahi peserta yang memiliki koleksi sansevieria variegata dan mutasi warna daun lainnya. Tercatat 11 peserta terjun di kelas itu. Begitu juga di kontes yang diselenggarakan di Surabaya, 32 peserta beradu unik untuk merebut gelar juara.

Di kalangan hobiis sansevieria, variegata memang selalu menjadi incaran. Maklum, kemungkinan untuk menghasilkan ketidaklaziman itu sulit. Apalagi bila diperoleh dari hasil reproduksi generatif. 'Dari sejuta tanaman paling hanya satu yang variegata,' ujar Benny Tjia, PhD, doktor hortikultura dari Universitas Florida, Amerika Serikat. Itulah sebabnya tanaman variegata langka dan harganya selangit.

Maka memiliki sansevieria variegata ibarat sebuah berkah. Itu dialami dr Purbo Djojokusumo, hobiis sansevieria di Jakarta. Sansevieria halii berkadar variegata 30-60% miliknya dibeli dengan harga US$1.000 atau setara Rp9,4-juta per daun oleh pembeli asal Jepang. Tinggi daun sekitar 30 cm. Padahal, harga halii normal ukuran 10 cm yang baru diimpor dari Panama cuma Rp500.000/daun. Artinya, nilainya terdongkrak hingga 6 kali lipat.

Menurut Dr Soeranto Hoeman, peneliti Bidang Pertanian Kelompok Pemuliaan Tanaman Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), variegata disebabkan mutasi pada gen kloroplas yang terdapat di dalam sitoplasma. Itulah sebabnya kelainan itu juga disebut extranuclear mutation alias mutasi di luar inti sel. Mutasi itu menyebabkan kerusakan gen mutan sehingga mengganggu produksi klorofil yang berperan dalam fotosintesis. Tandanya muncul belang hijau-kuning di daun.

Mutasi itu menyebabkan berkurangnya jumlah grana yang mengandung klorofil. Grana berperan menyerap sinar matahari yang diperlukan untuk fotosintesis. Namun, karena jumlah grana pada tanaman variegata terbatas, intensitas sinar matahari yang diperlukan pun hanya sedikit. Itulah sebabnya bila intensitas cahaya berlebihan dapat menyebabkan terbakarnya jaringan daun.

Kerdil

Mutasi di luar inti sel juga dapat menyebabkan tanaman menjadi dwarf alias kerdil, seperti terjadi pada Sansevieria ehrenbergii koleksi Aris Andi. Tinggi tanaman hanya 15 cm dan panjang daun tak lebih dari 10 cm. Susunan daun juga tampak sesak dan roset. Padahal tanaman normal, susunan daun membentuk seperti kipas. Panjang daun pun bisa mencapai lebih dari 20 cm.

Mutasi juga dapat terjadi pada gen pengontrol pigmen. Salah satunya dialami koleksi Ir Sentot Pramono, hobiis di Jakarta. Beberapa daun Sansevieria trifasciata 'bantles black' miliknya berwarna hijau pekat polos hampir kehitaman. Bandingkan dengan 'bantle sensation' yang berwarna hijau kusam.

Soeranto menuturkan perubahan warna terjadi bila salah satu pigmen termutasi menjadi dominan dan pigmen warna lainnya tertekan alias resesif. Pada kasus Sentot, warna hijau tua-lah yang menjadi dominan. Kondisi serupa juga terjadi pada Sansevieria halii 'pink bat'. Warna resesif muncul menyelimuti permukaan daun yang berwarna hijau tua.

Lain lagi yang terjadi pada Sansevieria trifasciata hahnii 'twister'. Disebut demikian karena bentuk daun melintir menyerupai angin puting beliung. Soeranto berpendapat kelainan seperti itu akibat kromosom yang patah sehingga kehilangan satu atau lebih segmen gen dalam kromosom. Akibatnya tanaman mengalami 'cacat' secara genetis yang menyebabkan pertumbuhan menjadi tak lazim.

Sinar matahari

Lalu, apa penyebab mutasi? Mutasi dapat terjadi secara spontan di alam. Salah satu penyebabnya, 'Intensitas sinar matahari yang terus-menerus,' kata Soeranto. Sinar matahari memiliki spektrum yang beragam berdasarkan panjang gelombang elektromagnetik. Salah satunya adalah sinar-X dan gamma yang bergelombang pendek. Keduanya merupakan radiasi pengion (ionizing radiation) yang dapat melepas energi (ionisasi) ketika melewati atau menembus materi.

Proses ionisasi itu terjadi dalam jaringan tanaman sehingga menyebabkan perubahan sel, genom, kromosom, dan DNA atau gen. Perubahan itulah yang disebut mutasi. Hanya saja intensitas sinar-X dan gamma dalam sinar matahari sangat rendah. Oleh sebab itu mutasi di alam sangat lamban.

Teknologi saat ini mampu menghasilkan radiasi sinar gamma dengan intensitas tinggi. Hasilnya, mutasi didapat dalam waktu singkat. Itulah sebabnya teknologi ini seringkali dimanfaatkan dalam pemuliaan tanaman.

Mutasi juga dapat terjadi dengan menginduksi mutagen yang berasal dari bahan-bahan kimia yang termasuk dalam gugus alkil aktif seperti etil metansulfonat (EMS), dietil sulfat (dES), dan metil metansulfonat (MMS). Gugus itu dapat ditransfer ke molekul lain yang memiliki kepadatan elektron cukup tinggi seperti grup fosfat dan molekul purin, serta pirimidin yang merupakan penyusun struktur asam deoksiribonukleat (DNA). Akibatnya struktur DNA pada tanaman berubah.

Meski demikian, ada kalanya tanaman mutasi kembali normal bila dikembangbiakkan secara generatif. Walaupun mengalami mutasi, tanaman mutan tetap menyimpan gen normal. Pada generasi tertentu, gen normal itu berpeluang kembali muncul. 'Mutasi akan bertahan bila bagian tanaman yang mengalami mutasi diisolasi dan diperbanyak dengan cara kultur jaringan,' tutur Soeranto. Mutasi yang didamba pun tak akan sirna.

Diambil dari : Trubus-online.com, 1 Februari 2007

Kuku Bima/Fischeri


Lidah naga berdaun bulat itu disebut kuku bima karena bentuknya seperti kuku raksasa. Bedanya dengan douglas dan coral blue, bukan kuku bimanya yang simpang siur, tapi nama spesiesnya. Mulanya ia disebut S. aethiopica karena literatur domestik menyebutnya demikian. Belakangan dikoreksi karena referensi internasional menggolongkannya sebagai S. fischeri.

Douglas


Coba tanya douglas pada komunitas sansevieria internasional! Pasti gelengan kepala yang menjadi jawaban. Douglas memang hanya populer di Indonesia. Douglas disematkan Seta Gunawan pada S. kirkii var kirkii 'superclone' pada pertengahan 2005 karena sosoknya gagah, mirip petinju dunia James Douglas. Dua tahun lalu superclone masih menjadi barang baru tanpa nama

Coral Blue


Coral blue

Yang juga hanya populer di tanahair ialah coral blue. Ia sebetulnya S. kirkii var kirkii. Daun yang mempunyai bercak mirip koral di terumbu karang itu menjadi inspirasi. Meski baru lahir 2 tahun, coral blue menjadi sansevieria paling dicari di Jawa Timur.***

Cacah US$1.000


Pernah mencacah uang senilai US$1.000? Konglomerat papan atas pun mungkin enggan mencacah uang yang nilainya setara Rp9,4-juta. Namun, Iwan Hendrayanta, ketua Perhimpunan Florikultura Indonesia (PFI) melakukan perbuatan nekat itu. Setahun silam, ia menyiapkan 10 lembar uang senilai US$100 untuk memenuhi hasratnya melakukan mutilasi.

Cerita itu bermula di Milan, Italia, kala Iwan mengantar keluarganya berlibur ke Eropa. Ia memisahkan diri dari keluarganya dan mampir di sebuah nurseri di kota yang terkenal karena 2 klub sepakbolanya yang mendunia itu. Di sana ia kesengsem sepot Sansevieria kirkii 'douglas' yang warnanya agak kebiruan. Sayang, sang pemilik hanya mau menyerahkan anakan 1 daun sepanjang 1 m dengan harga US$1.000. 'Saya betul-betul kesengsem karena langka, tapi tak sempat menawar. Jadi, 10 lembar itu saya serahkan,' katanya.

Di tanahair lidah naga yang lebih mirip tongkat itu dipulihkan dengan tak sabar selama sebulan. Setelah itu, ia menyiapkan pisau tajamnya. Dan, sreeb! Logam mengkilap itu memotong daun itu menjadi 15 bagian. Uang yang setara dengan sebuah laptop kelas menengah itu menjadi potongan kecil. Iwan disebut nekat karena ia belum mengenal karakter douglas.

Benar saja, potongan berukuran 5 cm itu baru memunculkan akar 6 bulan kemudian. 'Meski sudah keluar akar, belum tentu hidup,' katanya. Namun, rupanya ada yang lebih 'gila' dari Iwan. Agustus 2007 lalu seorang kolektor dari Jepang membeli 6 potongan itu seharga Rp6-juta. Artinya, sepotong daun berukuran 5 cm yang tak jelas bakal bertahan hidup laku Rp1-juta

Diambil dari : Trubus Online, Trubus-online.com

Sansevieria Gileee Beneer


Suatu sore hari di medio November 2007. Sebuah gerai di pameran Trubus Agro Expo 2007 ramai oleh pengunjung. Ratusan pot sansevieria: gold flame, california, dan pagoda yang terpajang di ruangan berukuran 4 m x 6 m jadi perhatian utama. Di penghujung pameran selama 10 hari, Harry Sugianto, pemilik stan, menuai omzet Rp50-juta dari penjualan 500 pot sansevieria.

Nominal sebesar itu tak pernah terbayangkan sebelumnya. Maklum, Harry tergolong 'anak bawang'. Pensiunan perusahaan alat berat itu baru terjun di bisnis lidah mertua pada Maret 2007. Ketika itu ia nekat ikut pameran pertama kali di Museum Purna Bhakti Pertiwi, Jakarta Timur. Nekat? Ya, ketika itu dunia tanaman hias tengah 'dikuasai' anthurium, si raja daun. Harry kukuh pada pendirian dengan memajang 1 jenis tanaman: sansevieria. 'Waktu itu omzetnya hanya Rp15-juta. Saya betul-betul tak menyangka omzet berlipat 3 kali dalam hitungan bulan,' katanya.

Kini Harry membuka greenhouse di bilangan Lido, Bogor, seluas 500 m2. Itu untuk menampung jenis cylindrica, giant, dan canaliculata. Ketiganya tergolong berdaun tebal. Maklum, sejak sebulan terakhir permintaan yang masuk jenis berdaun tebal, bulat, dan kering yang disukai karena bandel dan tahan banting.

Eksklusif

Wajah baru yang juga ketiban rezeki lidah jin ialah Heroe Pramono di Surabaya. General manajer sebuah perusahaan bahan bangunan itu terjun ke bisnis sansevieria pada Juni 2007. Pada penghujung 2007 Heroe menjual 100 pot lidah mertua per bulan. Jenis yang diburu pelanggan, S. zaelani australian black spot, gold flame, twister, dan patula. Heroe meraup omzet Rp7,5-juta-Rp10-juta per bulan. Manisnya sansevieria juga dirasakan Nanang Prasojo di Yogyakarta.

Sukses 3 pendatang baru di bisnis sanseveria itu bukan tanpa sebab. Penelusuran Trubus ke berbagai daerah, bisnis sansevieria memang tengah menggeliat. 'Sejak 3 bulan silam pasar sansevieria mulai bergerak,' kata Iwan Hendrayanta, ketua Perhimpunan Florikultura Indonesia. Ia merujuk pada pendapatan di nurserinya Rp32-juta per bulan sejak 3 bulan silam. Beberapa pemain fanatik menyebut pergerakan pasar sansevieria sejak setahun silam. Itu terutama untuk jenis eksklusif.

Menurut Agus Mulyadi, pemain sansevieria di Solo, lidah naga disebut eksklusif bila bersosok cantik, langka, dan pertumbuhan lambat. Tiga syarat itu menyebabkan sansevieria eksklusif dibandrol selangit, Rp500-ribu-Rp60-juta per pot. Djumiati Aris Budiman, pemilik nurseri Watuputih, Yogyakarta memberi syarat tambahan. 'Tanaman biasa bisa jadi eksklusif bila mengalami mutasi,' katanya. Sebut saja jenis giant alias masoniana. Tanpa mutasi harganya Rp50-ribu-Rp100-ribu per daun. Namun, giant variegata putih Rp7,5-juta per daun. Giant variegata golden (kuning, red) dibandrol Rp5-juta per daun (baca: Harga Selangit Sanse Variegata, hal 22-24).

Definisi lebih lunak diberikan Soedjianto, pemain di Wonosobo. 'Yang disebut eksklusif semua jenis sansevieria nonlaurentii dan hahnii,' tuturnya. Harganya mulai Rp50-ribu per pot hingga puluhan juta rupiah. Toh, bukan berarti semua lidah naga sekelompok S. trifasciata laurentii dan hahnii tergolong murahan. California yang dibandrol Rp1-juta per pot berdaun 3-4; gold flame Rp250-ribu-Rp1- juta per pot. Golden wendy-sekelompok dengan hahnii-Rp750-ribu-Rp2,5-juta per pot.

Momentum

Bukan tanpa alasan jika kini sansevieria berkibar. 'Harga anthurium sudah tidak masuk akal. Jadi, pemain tanaman hias mencari tanaman lain yang bisa diangkat dengan harga rasional. Sansevieria memenuhi syarat itu,' ujar Iwan.

Harga lidah naga memang terjangkau. 'Ia mengalami kenaikan, tapi bertahap. Tidak sedrastis raja daun,' kata Willy Poernawan, ketua Masyarakat Sansevieria Indonesia (MSI), di Yogyakarta. Sebut saja S. kirkii var. pulchra 'coppertone.' Pada awal 2007 harga 3-4 daun dengan bentangan 20 cm Rp250-ribu. Pertengahan tahun menjadi Rp350-ribu-Rp450-ribu, dan di penghujung tahun Rp750-ribu.

Kenaikan harga yang cenderung bertahap itu membuat pemain mudah memprediksi pasar. 'Pergerakan harga mudah dipantau, harga di mancanegara diketahui persis melalui internet,' ujar Harry. Itulah salah satu alasan Harry nekat bermain sansevieria. Artinya, di bisnis sansevieria, pemula sekalipun tak akan merasa tertipu membeli dengan harga tinggi.

Informasi yang serba terbuka di dunia sansevieria menjadi antitesis bagi orang yang menganggap harga di dunia tanaman hias rawan goreng-menggoreng.

Penuhi 7 syarat

Djumiati menambahkan 7 syarat yang mesti dimiliki tanaman agar bisa diterima masyarakat dan menjadi tren. Tiga syarat pertama berhubungan dengan estetika: cantik, variasi bentuk beragam, dan variasi warna tinggi. 'Sebetulnya dengan 3 syarat itu, sebuah tanaman pasti disukai hobiis, tapi tak cukup kuat untuk menjadi tren yang panjang,' kata Mimi, sapaan Djumiati.

Tiga syarat lain berkaitan dengan penanganan: perawatan mudah, tingkat perbanyakan sedang, dan pertumbuhan lambat. 'Bila tanaman mudah dirawat, biaya perawatan rendah, hobiis dan pemula gampang tertarik. Koleksi tanaman tak akan mengganggu rutinitas sehari-hari,' ujarnya. Dua sifat yang disebut terakhir disukai produsen dan pedagang. Bila tanaman terlalu mudah diperbanyak, kejenuhan pasar gampang terjadi. Pertumbuhan lambat membuat periodisasi sebuah tren panjang.

Syarat terakhir tergolong tambahan, tapi berperan penting mempengaruhi publik. Tanaman mesti mempunyai nilai guna selain nilai estetika. Sansevieria bersifat antipolutan dan antiradiasi. Itu sejalan dengan penelitian yang dilakukan Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA). Hasil penelitian selama 25 tahun menyebut lidah mertua mampu menyerap 107 polutan udara. Jadi, semua syarat untuk jadi tren itu terpenuhi oleh lidah naga.

Siklus berulang

Sejatinya, tren sansevieria di tanahair bukan kali pertama. Pada 2004-2005, dunia tanaman hias dikejutkan dengan maraknya orang mengebunkan S. laurentii. Kala itu importir dari Korea bergerilya langsung ke pelosok Pulau Jawa untuk mencari kerabat agave itu. Kawasan Bopuncur (Bogor, Puncak, dan Cianjur) di Jawa Barat dan Malang, di Jawa Timur, pun berubah menjadi sentra laurentii. Saking populernya laurentii, tanaman pagar itu menjadi incaran maling.

Sayang, perniagaan ekspor terhenti pada 2005. 'Semua kebun terkena serangan busuk daun karena bakteri Erwinia sp,' kata Anna Sylvana, eksportir sansevieria. Laurentii rentan penyakit tersebut. Hingga 2007 hanya 2 eksportir bertahan: di Yogyakarta dan Malang. Namun, penelusuran terakhir di penghujung 2007, eksportir di Yogyakarta pun gulung tikar.

Menurut Anna tren pada 2004-2005 itu sebetulnya putaran kedua. Pertama kali laurentii dikirim ke mancanegara dimulai pada 2000. Ketika itu nurseri Greenery mendapat permintaan langsung dari Jepang. Ketika itu negeri Sakura itu tengah getol mengkampanyekan sansevieria sebagai antipolusi. 'Hasil penelitian NASA sebetulnya menyebut 10 tanaman penyerap polusi,' tutur Anna. Tanaman lain kurang gaungnya karena berupa tanaman bunga, krisan, yang umurnya pendek. Atau tanaman daun: phylodendron, aglaonema, dan spatiphylum yang lebih cocok untuk indoor. Lidah mertua cocok untuk indoor dan outdoor.

Ketika kegiatan ekspor terhenti, pasar lokal justru terbuka. Namun, jenis yang diminati hobiis lokal bukan laurentii. Yang dicari jenis-jenis berdaun tebal dan bulat. Sebut saja cylindrica, suffruticosa, dan ehrenbergii. Maklum, informasi sansevieria sebagai tanaman antipolusi kian menyebar.

Laju impor

Peluang itu ditangkap para importir tanaman hias. Boen Soediono di Jakarta menjelajahi Thailand. 'Di sana ada 3-4 nurseri yang khusus menyediakan sansevieria,' kata pemilik nurseri Bloemfield itu. Dari perjalanan 4 kali sepanjang 2007 ia membawa 10 jenis baru yang tergolong langka. Antara lain volkensii, koko, horwood, humiflora, hawaiian star, dan suffruticosa 'frosty spears'. Begitu sampai di tanahair, tanaman langsung berpindah tangan.

Menurut Boen sebetulnya lidah mertua impor masuk pertama kali ke tanahair pada 1980 melalui kolektor asal Belanda. Sayang, jumlahnya sangat terbatas sehingga tidak sempat tren. Jenis yang masuk: coral blue dan douglas. Di Wonosobo, coral blue dan douglas ditanam oleh ekspatriat asal Amerika bernama Jack E Craig pada 90-an sebagai elemen taman.

Importir lain, Handhi, mendatangkan lidah jin dari Thailand setiap 2 bulan sejak 2 tahun silam. Jenis yang dibawa twister tsunami. Dalam waktu 6 bulan 50 pot lidah naga setinggi 15 cm dan berdaun 7-8 itu laku dengan harga Rp1-juta per pot. Sejak 4 bulan silam, volume penjualan meningkat menjadi 100 pot per bulan. Jenisnya tak melulu twister, tapi juga patens, suffruticosa, fernwood, dan phillipsiae.

Kehadiran jenis baru dipercaya ikut mendongkrak tren sansevieria. Sejak 3 bulan terakhir omzet nurseri Watuputih dari sansevieria mencapai Rp100-juta per bulan. Yang paling banyak dicari-mencapai 50% volume penjualan-sansevieria berharga Rp500-ribu-Rp1-juta. Semua tanaman didatangkan dari Thailand.

Kerikil tajam

Namun, bila tergiur bisnis sansevieria, bersiaplah melewati jalan terjal dan berliku. Pada awal 2007, Sarjianto bersama seorang rekan mencacah indukan giant, pinguicula, dan kenya yasin untuk perbanyakan. Enam bulan kemudian saat anakan itu siap dijual permintaan lidah jin nol. 'Selama 3 bulan pasar mandek,' kata pria asal Yogyakarta itu. Padahal, ia berharap meraup omzet minimal Rp20-juta per bulan. Kenyataan, pendapatan ketika itu hanya Rp2-juta per bulan.

Batu sandungan lain, salah penanganan. Sebuah samurai asal Thailand yang dibeli Mimi seharga Rp15-juta pada kuartal awal 2007 semula tampak gagah. Namun, begitu di-repotting, sansevieria itu stres. 'Daun jadi meliuk-liuk karena salah pengemasan saat diimpor. Hingga kini lidah naga itu teronggok di pojokan rumah plastik miliknya.

Penyakit busuk daun tetap jadi momok, terutama untuk jenis laurentii dan hahnii. Hanya dalam hitungan minggu, kebun laurentii dan moonshine untuk ekspor seluas 8 ha milik Greenery luluh-lantak diterjang Erwinia sp. Kini pasar yang dikuasai Indonesia diambil alih oleh Vietnam dan Birma.

Kendala lain, pencurian. Seorang hobiis di Sawangan, Depok, hanya bisa terpekur lesu. Sebanyak 180 jenis sansevieria asal Perancis yang baru datang digondol maling. Padahal, banyak jenis yang mutasi.

Semarak kontes

Toh, segudang kendala itu tak menyurutkan semangat para pemain. 'Untuk penanaman di lahan luas memang tidak menguntungkan. Tapi, pembudidayaan sebagai tanaman pot tetap prospektif,' kata Lanny Lingga di Bogor. Konsumen sansevieria dalam pot adalah hobiis di tanahair.Sebagai contoh, sejak 3 bulan terakhir superba, superba futura, dan tiger yang dipotkan Liling Watiasita di Yogyakarta laris manis. 'Permintaan pot plant meningkat 30%,' katanya.

Geliat bisnis lidah jin pun didukung maraknya kontes di berbagai daerah. Pada Januari 2008 tercatat 2 kabupaten menggelar kontes: Blora dan Banyumas. Bahkan, Blora kini dicanangkan sebagai kota sansevieria oleh sang bupati, Drs RM Yudhi Sancoyo, MM. Di penghujung 2007, ajang serupa digelar di Surabaya dan Yogyakarta.

Sebulan sebelumnya di Jakarta dan Yogyakarta. 'Sejak 6 bulan terakhir hampir tiap bulan digelar 2 kontes. Peserta berlimpah, mulai 50 hingga tembus 102 peserta,' kata Willy. Bandingkan dengan 2005, saat itu kontes lidah mertua hanya sekali digelar. Sepanjang 2006 hingga April 2007 kontes sansevieria hanya 4 kali.

Frekuensi kontes yang meningkat seiring dengan munculnya komunitas pencinta sansevieria. Di Yogyakarta ada: Masyarakat Sansevieria Indonesia alias MSI. Kini cabang-cabang MSI berdiri di berbagai daerah. Sebut saja Klaten, Solo, Wonosobo, Blora, Tulungagung, Surabaya, dan Ngawi.

Mempunyai sansevieria ibarat mengoleksi lukisan pelukis terkenal. Tak semua yang punya uang bisa memiliki. Jumlahnya terbatas sehingga eksklusif,' kata Michael, kolektor di Semarang. Itulah peluang yang ditangkap orang-orang seperti Harry dan Heroe

Disarikan dari : Majalah Trubus : trubus-online.com , tanggal 1 Februari 2007

Duel Lidah Jin di 3 Kota


Tak ada satu juri pun yang bisa memprediksi pemenang kelas bebas di kontes sansevieria di Universitas Negeri Surabaya akhir Desember lalu. Bahkan setelah selesai penilaian pun, masih susah diprediksi. Usai direkap, muncullah sansevieria bernomor peserta 42 sebagai pemenang.

Wajar jika juri utama Agus Gembong Kartiko, Willy Purnawanto, Seta Gunawan dan 4 juri lainnya kesulitan menentukan pemenang. Persaingan di kelas bebas sansevieria memang ketat. Beragam jenis S. kirkii, S. downsii, S. masoniana, S. sordida, S. fischeri, S. hallii, S. trifasciata 'goldflame', S. trifasciata 'hahnii', S. ballyi, S. patens, dan S. pinguicula semua tampil prima.

Ketatnya persaingan terbukti dari nilai yang didapat. Selisih nilai antarpeserta tipis. Sang jawara S. patens berhasil meraih angka 64,35, disusul jenis yang sama sebagai runner up dengan nilai 63,20. Keduanya sama bagus. Si kampiun umur 6 tahunan itu bersosok lebih besar dan susunan daun teratur. 'Bentuknya sangat sempurna,' tutur Willy-juri dari Yogyakarta. Arah daun yang membentuk kipas mengisi semua sudut dua dimensi dengan jarak antardaun teratur.

Membludak

Saingan terberat sang jawara adalah saudara sejenis. Sansevieria bernomor 43 ini memang lebih muda, umurnya sekitar 3-5 tahun. Namun, bentuknya sangat roset dan dinamis. Sekitar 15 daun masing-masing panjangnya 5-12 cm bertumpuk-tumpuk mengisi semua ruang. 'Namun, juara ke-1 memiliki keunggulan pada kedewasaan dan keteraturan bentuk,' kata Gembong. Juara ke-3, S. hallii umur 8 tahun dengan panjang daun sampai 40 cm dan susunan daun majemuk.

Itulah pemenang kontes sansevieria di ajang pameran tanaman hias hasil kerja sama Universitas Negeri Surabaya, Paguyuban Pedagang Tanaman Hias (P2TH), dan Komunitas Sansevieria (Komsa). Kontes itu diselenggarakan dalam rangka dies natalis yang ke-43 Univeritas Negeri Surabaya. Peserta datang dari Medan, Jakarta, Malang, Solo, Gresik, Surabaya, dan Sidoarjo. 'Jumlah peserta membludak sampai 109, padahal target hanya 80 peserta,' kata Hito Susatyo, panitia kontes.

Kontes yang berakhir pada senja hari itu juga melombakan sansevieria kategori kelas unik. Kelas inilah yang banyak menyedot perhatian para pengunjung. Sansevieria dengan bentuk aneh-aneh seperti kelinci, gua, burung kakatua, sampai sansevieria-sansevieria mini ada di sana. Semuanya unik, tapi tujuh juri sepakat S. trifasciata 'laurentii' yang warna daunnya bermutasi jadi kuning dan menggulung didaulat sebagai jawara. S. cylindrica 'patula' yang mirip burung kakatua raih juara ke-2. Juara ke-3 diraih rizoma S. masoniana yang memiliki rimpang berongga mirip gua.

Pada hari yang bersamaan, di Yogyakarta diselenggarakan kontes serupa. Sebanyak 18 lidah jin-sebutan sansevieria di Malaysia-beradu cantik. Kontes dibagi menjadi dua kelas: kelas sansevieria trifasciata dan sansevieria nontrifasciata. Pemenang dari kelas trifasciata diraih S. trifasciata 'superba' milik Budi dari Yogyakarta. Di kelas nontrifascita, S. suffruticosa var. 'frosty spears' milik Yatno ada di peringkat I lantaran arah daun serasi. Disusul S. erythreae milik Lulus dari Klaten dan S.kirkii milik Agus Manding masing-masing di posisi ke-2 dan ke-3.

Di Blora, Jawa Tengah, tak ketinggalan, kontes sansevieria digelar oleh Asosiasi Petani Tanaman Hias Cepu, Blora. Kontes yang diikuti 50 peserta itu terbagi dalam 4 kelas yaitu trifasciata, cylindrica, nontrifasciata, dan unik. Juri Willy Purnawanto, Irvan Suryanto, Yoyok, dan Ari memutuskan S. trifasciata 'golden hahnii' milik Agus sebagai kampiun di kelas trifasciata. Sedangkan jawara di kelas nontrifasciata, S. patens milik Agus yang juara di Surabaya. Kontes yang dihadiri Bupati Blora itu bertepatan dengan pengukuhan pengurus Masyarakat Sansevieria Indonesia cabang Blora.

Diambil dari : trubus-online.com edisi tanggal 1 Februari 2008